Sebuah peneguhanku terhadap seorang pasien.
Sobat,
Kutuliskan
sepucuk surat ini untuk menyatakan betapa aku menyayangi dan
mengasihimu. Aku kagum akan keteguhanmu dalam menyikapi setiap peristiwa
yang menimpamu. Ketika engkau mengalami suka, gembira, bahagia; engkau
tidak begitu saja larut dalam kegembiraan itu. Engkau mampu menimbang,
menempatkan diri serta mengambil sikap yang sesuai dengan situasi hati
dan juga situasi aktual di sekitarmu, seakan tak tergoreskan sedikit
tanda bahwa engkau sampai lupa diri. Dalam situasi suka, ternyata engkau
mampu mengingat mereka yang sedang menderita, lapar, terlantar maupun
terbelenggu oleh kejamnya kemiskinan.
Di
sisi lain, ketika engkau mengalami duka, sakit atau derita; engkau juga
tidak mudah jatuh dalam lembah duka yang sering kali orang berserah
diri-pasif, merasa tiada berdaya apa-apa. Engkau ternyata memiliki
keteguhan hati dan harapan yang besar dalam hidup ini. Engkau tetap
berusaha untuk bangkit dari deritamu itu.
Kemarin
ketika aku melawatmu, engkau tergolek lemah di atas tempat tidurmu yang
tua itu. Tetapi aku penasaran. Dalam hati, aku bertanya-tanya
sungguhkah engkau sakit? Ataukah itu hanya pura-pura? Aku betul-betul
tidak mengerti mengapa raut wajahmu tampak berseri, seolah-olah tak
kutemukan gejala biologis yang menyatakan bahwa engkau sedang sakit.
Padahal aku sudah begitu hafal bagaimana keadaan fisik seorang yang
sedang sakit. Ada yang mukanya tampak pasi, dengan bibir yang kering dan
mata yang sayu; ada pula yang dingin seluruh tubuhnya, lemah tak
berdaya dan masih banyak lagi.
Pengalaman
sakit atau derita merupakan bagian yang tak terhindarkan dari sejarah
kemanusiaan selama ini. Oleh karena itu sebagai umat manusia memang kita
ditantang untuk dapat mengambil sikap terhadap fenomen tersebut dan
juga dapat atau mampu mengambil maknanya. Engkau ternyata mampu
menyadari bahwa pengalaman sakit atau derita itu merupakan pengalaman
yang tidak mengenakkan, sulit dihindarkan dan pasti pernah dialami oleh
siapapun. Pengalaman sakit dan derita yang selama ini sering membawa
sekian banyak orang ke dalam pergulatan yang sulit dengan Allah, namun
kini dapat membawa engkau ke dalam suatu pengalaman yang begitu bernilai
bersama dengan Allah.
Seperti
Bartimeus yang berseru-seru “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku! Anak
Daud, kasihanilah aku!” (Mrk 10,47-48) engkaupun memiliki pengharapan
yang begitu besar bahwa engkau dikasihi oleh Allah. Sehingga engkau
dapat membuktikan bagaimana tantangan itu harus dihadapi. Kini aku
semakin mengerti bahwa dengan disposisimu yang penuh pengharapan Allah
yang selalu mencintai memampukan engkau menggapai keutuhan pribadimu.
Yakinlah bahwa Allah selalu mendengar seruan doa yang kau ucapkan dengan
tak jemu-jemu itu. Dia sangat peka akan orang yang selalu mengandalkan
dan bersandar kepadaNya. Oleh karena itu, tak sia-sialah apa yang engkau
serukan kepada Nya.
Sobat,
Aku
salut padamu. Sebab meskipun dalam derita ternyata engkau juga mampu
memancarkan setulus kasih dan harapan kepada orang-orang di sekitarmu.
Penderitaan sakit yang kaualami sebagai pengalaman solidaritas komunal
ternyata mampu membuka cakrawala baru bagi keluarga atau orang-orang
yang mendampingimu. Suatu fenomen yang selama ini terjadi bahwa
orang-orang yang mendampingi si sakit harus bergulat lebih berat dari
pada si sakit, ternyata dapat kauputarbalikkan. Mereka tampaknya tak
seduka seperti pada umumnya orang, yang harus ‘was-was’ akan kondisi si
sakit maupun akan biaya yang harus dikeluarkannya. Mereka dapat setia
dan penuh pengharapan -kepada kehendak Sang Kuasa- mendampingi
pergulatan yang kau derita. Engkau mampu menciptakan ‘iklim’ bagi mereka
dengan situasi yang mau mengerti dan bukan kekhawatiran yang
bermacam-macam alasannya.
Kini,
akhirnya rasa penasaranku tak sengaja engkau jawab. Saat itu sebelum
engkau ‘bobok’ malam, engkau ‘curhat’ padaku tentang perjalanan hidupmu.
Sebagai sahabatmu, aku mendengarkannya dengan setia. Serangkai kata
yang selalu kuingat dan kuingat adalah “Aku percaya bahwa Tuhan
mencintaiku.” Kata-kata itu langsung menusuk kedalaman hatiku “Betapa
besar pengharapanmu akan kasih Allah.” Aku diingatkan oleh sabda Yesus
yang meneguhkan pengharapan penjahat yang turut disalibkan bersama Dia.
“Yesus, ingatlah akan aku, apabila engkau datang sebagai raja.” Lalu
Yesus menimpalinya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga
engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di Firdaus” (Luk 23,42-43).
Bertolak
dari ‘kesaksian deritamu’ aku semakin mengerti betapa mahalnya sebuah
pengharapan itu. Aku bersyukur dapat menimba pelajaran berharga
bersamamu yang sekaligus menyadarkan aku, bahwa status ‘keterciptaan’
kita –engkau dan aku- tidaklah sempurna-total seperti Sang Pencipta.
Kita adalah rapuh dan selayaknya-senantiasa bergantung pada Dia, Sang
Ilahi. Kita harus mengakui bahwa sakit merupakan fakta hidup yang tak
dapat terelakkan oleh manusia sebagai yang tercipta. Kini kita dapat
menarik sebuah ‘benang merah’ bahwa hanya harapan-lah yang mampu
mengubah derita sakit yang selalu dihindari oleh sekian banyak orang di
dunia ini, menjadi sebuah peristiwa yang bermakna.
Semoga lekas sembuh, sobatku.
*) Sebuah menunjuk: betapa pentingnya