Adalah sebuah Paviliun di rumah sakit Panti
Rapih. Paviliun itu ada 4 lantai. Bila diawali dengan angka 3 berarti
paviliun itu lantai tiga. Elisabeth 317 , berarti paviliun Elisabeth
lantai 3 nomer 17. Nomer ini adalah kamar paling ujung, kalau dilihat
dari pos penjagaan para perawat di Elisabeth 3. Ruangan Elisabeth 317
sangat khas.
Saat itu, bila Anda masuk pasti disambut oleh 'ocehan' seorang kakek yang usianya lebih dari 80 tahun. Kakek itu bernama Hadi Pawiro dan katanya sakit diare, tapi ternyata itu sakit ketuaan. 'Ya...biasalah kalau sudah tua pasti ada saja penyakitnya, itu kata orang-orang yang menunggu kakek itu. Di samping Mbah Hadi, sebut saja demikian, ada seorang pemuda dari Riau yang sakit DHF. Trombosit terakhirnya adalah 23. Maka ia sangat khawatir dengan darah yang telah keluar dari hidung (mimisan) dan juga dari ujung-ujung kuku, baik kaki maupun tangannya.
Di sampingnya lagi adalah seorang Bapak tengah baya. Ia sakit jantung. Tentang kondisinya aku tidak begitu tahu. Dua hari setelah aku berada di kamar itu ia pamit pulang. Tentu ini atas izin dokter.Bapak itu ternyata disusul oleh seorang anak smu. Dia terkena sakit DB. Wajahnya memerah dan seperti orang yang kebanyakan tidur. Yach apa pun situasinya kini berada di depan bed tidurku. Aku harus melihatnya setiap saat. Dia kin menjadi temanku dalam situasi yang sama, yakni sakit.
Sementara aku sudah merasa mulai sedikit membaik. Trombosit yang telah diperiksa kian naik. Itu pertanda bhawa ngga lama lagi aku pasti segera meninggalkan 317 dan nikmati suasana biara.
Penantian panjang di kamar 317 amat membosankan. Rasanya hidup terlalu sempit. Namun itu tidak membuatku putus asa. Ada asa yang tampaknya menjadi spirit bagiku, sehingga aku juga harus dan dapat menikmatinya. Pengalaman perjumpaan dengan orang-orang yang perhatian padaku menyadarkan aku bahwa Allah mengasihi aku.Apa yang ku alami sekiranya belum sebanding dengan yang dialami oleh Tuhan Yesus dalam kenosisNya. Dia akhirnya pun mengalami kemuliaan karena BapaNya menerima penyerahan diriNya. So....aku ingin melibatkan deritaku dengan derita Yesus, sehingga aku juga boleh menikmati kemuliaanNya.
Akhirnya....penantianku berujung pula. Aku diperkenankan oleh dokter untuk meninggalkan kamar 317. Derita itu berujung dengan harapan dan kegembiraan. Tuhan Yesus mendengarkan seruan batinku. Terimakasih Tuhan Yesus Sang tabib surgawi. Jamahanmu memberikan kesembuhan bagiku. Biarlah kegembiraan ini juga menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarku.
Tiba-tiba datanglah konfraterku Fr. Joko. Ia bermaksud menjengukku. So...sekalian saja aku mau bareng pulang.
Saat itu, bila Anda masuk pasti disambut oleh 'ocehan' seorang kakek yang usianya lebih dari 80 tahun. Kakek itu bernama Hadi Pawiro dan katanya sakit diare, tapi ternyata itu sakit ketuaan. 'Ya...biasalah kalau sudah tua pasti ada saja penyakitnya, itu kata orang-orang yang menunggu kakek itu. Di samping Mbah Hadi, sebut saja demikian, ada seorang pemuda dari Riau yang sakit DHF. Trombosit terakhirnya adalah 23. Maka ia sangat khawatir dengan darah yang telah keluar dari hidung (mimisan) dan juga dari ujung-ujung kuku, baik kaki maupun tangannya.
Di sampingnya lagi adalah seorang Bapak tengah baya. Ia sakit jantung. Tentang kondisinya aku tidak begitu tahu. Dua hari setelah aku berada di kamar itu ia pamit pulang. Tentu ini atas izin dokter.Bapak itu ternyata disusul oleh seorang anak smu. Dia terkena sakit DB. Wajahnya memerah dan seperti orang yang kebanyakan tidur. Yach apa pun situasinya kini berada di depan bed tidurku. Aku harus melihatnya setiap saat. Dia kin menjadi temanku dalam situasi yang sama, yakni sakit.
Sementara aku sudah merasa mulai sedikit membaik. Trombosit yang telah diperiksa kian naik. Itu pertanda bhawa ngga lama lagi aku pasti segera meninggalkan 317 dan nikmati suasana biara.
Penantian panjang di kamar 317 amat membosankan. Rasanya hidup terlalu sempit. Namun itu tidak membuatku putus asa. Ada asa yang tampaknya menjadi spirit bagiku, sehingga aku juga harus dan dapat menikmatinya. Pengalaman perjumpaan dengan orang-orang yang perhatian padaku menyadarkan aku bahwa Allah mengasihi aku.Apa yang ku alami sekiranya belum sebanding dengan yang dialami oleh Tuhan Yesus dalam kenosisNya. Dia akhirnya pun mengalami kemuliaan karena BapaNya menerima penyerahan diriNya. So....aku ingin melibatkan deritaku dengan derita Yesus, sehingga aku juga boleh menikmati kemuliaanNya.
Akhirnya....penantianku berujung pula. Aku diperkenankan oleh dokter untuk meninggalkan kamar 317. Derita itu berujung dengan harapan dan kegembiraan. Tuhan Yesus mendengarkan seruan batinku. Terimakasih Tuhan Yesus Sang tabib surgawi. Jamahanmu memberikan kesembuhan bagiku. Biarlah kegembiraan ini juga menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarku.
Tiba-tiba datanglah konfraterku Fr. Joko. Ia bermaksud menjengukku. So...sekalian saja aku mau bareng pulang.