Oportunis

Ketika seseorang bersikap lain dari pada jati dirinya, dengan mudah ia dinilai orang yang munafik. Juga ketika seseorang menyembunyikan "perasaan batin sesungguhnya" karena alasan kuat tertentu. Ketika seorang anak yang tahu ayahnya mengidap penyakit fatal pada stadium akhir tetapi ia bersikap biasa-biasa saja, mungkin anak itu juga akan menganggap ayahnya munafik. Namun sebagai anak yang 'baik' tentu menginginkan ayahnya tetap tidak tergoncang batinnya menjelang hari-hari terakhir hidupnya. Barulah dalam kesendiriannya anak itu akan menangis, menguraskan air matanya. Apakah ia telah bersikap munafik di hadapan ayah dan orang-orang lainnya yang menjenguk sebagai tamu?


Sikap menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya juga dapat terjadi karena faktor budaya yang sofistik. Ada orang yang dipermalukan secara telak di hadapan umum namun tetap tenang. Mimik mukanya pun hanya samar. Lain halnya mereka berbudaya kurang sofistik. Mereka tentu akan mudah mengumbar perasaannya mungkin sedikit pedas atau tajam. Mungkin juga akan bersikap lain yaitu membalas dengan kata-kata secara asertif tanpa meninggalkan nuansa sopan santun. Ia dapat pula memilih sikap "mengalah untuk menang" dan tetap tidak merasa dikalahkan.

Lalu apa dasar dari pada sikap munafik itu? Dasarnya ialah perasaan survival yang opportunistik. Mana yang lebih menguntungkan dirinya pada saat semacam itu : membalas, diam saja, atau menganggap angin peristiwa yang terjadi? Apapun pilihannya hal itu mencerminkan tingkat kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosinya. Ia yang menjadi pengendali kemauannya sendiri ataukah ia hanya si Samin, monyet yang menari dan dikendalikan oleh suara kendang yang ditabuh majikannya.

Yesus mengajak untuk bersikap penuh kerahiman. Sikap menghakimi selalu tidak mengandung nilai compassion. Mampu membaca kelemahan orang lain dan dengan sengaja memanfaatkannya demi sesuatu yang menguntung diri sendiri itu baru dapat dinamakan sikap yang munafik. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai sikap yang culas dan sama sekali tidak tulus. Keterbukaan orang lain dijadikan sarana untuk mengakses data informasi yang pada gilirannya dapat dieksploitir untuk mendatangkan "sesuatu" yang menguntungkan diri sendiri, entah sifatnya intangible apalagi kalau bersifat material.

Tidak pernah ada corps yang munafik. Yang ada ialah beberapa orang munafik yang kebetulan berada pada habitat yang sama, termasuk mereka yang semula lugu tetapi kemudian terpengaruh dan menjadi munafik juga karena ketularan "viruses of the mind" yang jahat. Dalam bidang spiritual, akibat yang terjadi justru kebalikannya. Setiap kali orang beraksi merendahkan orang lain yang terjadi ialah justru lebih banyak orang lain yang mulai memandang rendah diri oknum pencemooh itu.

Seperti orang yang naik sepeda di samping pengendara mobil yang sama-sama mau piknik ke luar kota yang sama. Biarpun ia naik mobil tetapi bergerak 2kilometer per jam maka mungkin saja si pengendara sepeda lebih maju perjalanannya dan lebih cepat sampai ke tujuan. Sebaliknya, kalau si pengendara sepeda yang mengayuh santai, mungkin ia baru sampai saat pengendara mobil sudah siap-siap untuk pulang.

Apakah pengendara sepeda yang memacu sepedanya seperti pembalap bersikap munafik seakan-akan tidak mau tahu bahwa ia hanya menggejot sesuatu wahana mekanis. Apakah pengemudi mobil yang berkendaraan sangat santai bersikap munafik seakan-akan tidak mau tahu bahwa ia dapat sampai ke tempat tujuan cukup dalam waktu 15 menit saja? Apa hubungannya?


Semuanya "harus bergerak" bukan hanya menurut kemampuan fisikal yang tersedia semata-mata tetapi juga dengan tekad kemauan yang ada; yang sifatnya individual. Bila tidak maju-maju dalam skala maka ujung terminal tidak pernah akan tercapai sekalipun memiliki potensial yang lebih dalam segala-galanya. Bila bertekad baja untuk maju dalam skala walaupun fasilitas fisikal kurang memadai, kemajuan tetap dapat terjadi secara signifikan.