Menjadi Tanda KehadiranNya

Sebuah Alkitab, buku harian, bacaan rohani dan jenis buku lainnya, sering ditemukan ada pembatas bukunya. Entah itu berupa foto, gambar, kartu ucapan selamat atau yang lainnya. Ada sekian banya jenis pembatas buku. Namun seringkali sebuah pembatas buku itu sederhana. Tapi juga ada yang sungguh-sungguh berharga, terbuat dari bahan yang tidak murah. Lalu sebenarnya, apa fungsi dari pembatas buku itu? Apakah hanya sekedar untuk membatasi, atau memberi tengara kalau kita membacanya sampai di halaman yang terdapat pembatas buku? Atau adakah maksud lain yang hendak di tengarai oleh pembatas buku itu. Atau ada maksud lain yang ingin disingkapkan?

Sebuah pembatas buku kadang tidak langsung dimengerti oleh penerimanya. Bahkan tak jarang meremehkannya. Padahal kalau dicermati secara seksama, sebuah pembatas buku yang kelihatannya remeh dan kecil sekalipun, ternyata menyimpan makna yang mendalam. Meski sederhana, pembatas buku mengingatkan akan suatu adanya kenangan yang indah, yang kadang mengingatkan kita pada si pemberinya atau menghadirkan si pemberinya.

Ketika Yesus hendak meninggalkan dunia ini dan kembali kepada Bapa, Yesus ternyata meninggalkan suatu kenangan bagi para muridNya. Suatu kenangan yang diwujudkan dalam perjamuan persahabatan, yakni diriNya sendiri yang menjadi santapan dan minuman. Yohanes mengemukakan bagaimana Yesus berbicara tentang diriNya dengan ungkapan “Akulah roti hidup…barang siapa makan dagingku dan minim darahku, ia mempunyai hidup kekal.” (Yoh 6:51-54).

Pengungkapan tentang pemberian diri Yesus itu tidaklah langsung dapat dimengerti dan diterima oleh orang-orang di sekitarNya. Bahkan malah menimbulkan pertentangan serta kegoncangan pandangan atau keyakinan. Yesus memperoleh cibiran atau sungutan dari orang-orang Yahudi. Dalam ayat 52 diungkapkan bahwa mereka saling bertengkar. Mereka sungguh-sungguh tidak dapat menerima bahwa dagingNya dapat dimakan. Sebab harus diakui bahwa belum pernah terjadi di lingkungan orang Yahudi yang menyatakan perlunya masyarakat makan daging dan minum darahnya. Yesus lah satu-satunya orang yang berani mengungkapkannya.

Bertolak dari situasi yang demikian, Yesus tidaklah putus asa. Ia justru semakin tegas bersaksi tentang diriNya. Ia berkali-kali menegaskan bahwa kata-katanya tidaklah main-main. Ia mendahului dengan ungkapan “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya…” untuk menyatakan bahwa ia sungguh roti hidup. Memang bisa dimengerti penilaian bahwa ungkapan Yesus pada ayat 60 itu keras. Istilah makan yang dimaksudkan oleh Yesus dalam ay.53, bukan makan dan minum yang dipahami oleh kalangan Yahudi, yakni mengunyah manna seperti nenek moyang mereka, sehingga hanya rasa kenyang yang ingin dicapai. Namun lebih pada ‘mengunyah’ Yesus sendiri -dagingNya sendiri sebagai sunguh-sungguh santapan dan darahnya sendiri sebagai minuman- Memang bernada kiasan. Makan daging dan minum darah Yesus searti dengan menyatukan diri -melalui tindakan makan dan minum- dengan Dia, sehingga yang dicapai: hidup.

Kata ‘hidup’ dalam ungkapan “..mempunyai hidup dalam dirimu..” (ayat 53), ini dihubungkan oleh Yesus dengan diriNya sendiri, yang tidak mengacu kepada hidup fisik, melainkan hidup dalam persatuan denganNya, seperti persatuanNya dengan Bapa. Paulus, melalui pertobatannya (Kis 9:1-20), ia sungguh-sungguh merasakan dapat bersatu dengan Allah..Hidup bersatu dengan Yesus yang dimaksud di sini, kembali ditegaskan dalam ayat 54, yakni sebagai hidup yang kekal: hidup lestari yang tak akan berkesudahan, dan bahkan akan dimahkotai dengan pembangkitan oleh Yesus (bdk.ay.40).

Lalu, bagaimana kita dapat sampai pada penghayatan akan Roti hidup yang tak sekedar tanda semata? Bila kita makan dan minum maka menimbulkan suatu perubahan, yakni kenyang. Demikianlah dengan, bila kita mengunyah Yesus sendiri, hidup bersatu dengan Yesus, perubahan yang terjadi yakni sungguh-sungguh mampu menampilkan hidup Yesus. Seorang pastor memberikan nasihat kepada para fraternya agar, ‘mampu membawa hati Yesus kepada umat yang kita jumpai.’ Kehadiran kita di tengah keanekaragaman kepercayaan bukanlah untuk menjadi yang pertama, lebih mementingkan popularitas diri, melainkan untuk mempopulerkan Hati Yesus agar meraja di hati orang-orang yang kita jumpai. Kita bisa juga meneladan Paulus yang karena kedasyatan kuasa Allah yang menghendakinya untuk dijadikan alat Tuhan, ia lalu bertobat dari kekelaman hidupnya.Ada sebuah kisah yang menarik untuk diambil hikmahnya.

Suatu kali saya berlibur di rumah bude. Saya sengaja memiilih hari Sabtu, Minggu dan Senin, dengan maksud agar saya dapat mengikuti perayaan Ekaristi hari Minggu di Gereja stasi sekitar itu. Karena saya tidak tahu arah jalan ke Gereja, maka bude yang adalah seorang Kristen Protestan memberitahu agar saya berangkat bersama dengan Mbah Sayem (seorang nenek yang sudah lanjut usianya dan kencot Jawa=cacat pada kaki- ). Bude menyampaikannya hal itu kepada Mbah Sayem, dengan maksud agar Mbah Sayem membonceng saya dengan sepeda motor bude saya..

Mbah Sayem ternyata langsung menimpali “Lho apa ponakane njenengan iku wis nggak pernah mlaku adoh?” (“Lho apakah keponakanmu [saya] sudah tidak pernah berjalan jauh?) dan seterusnya. Saya terhenyak mendengar ungkapan Mbah Sayem. Bagi saya ungkapan itu cukup mendalam. Tetapi rasio saya juga seolah ingin melawan rasa itu : tidakkah yang sebenarnya tidak atau kurang mampu untuk berjalan jauh itu adalah Mbah Sayem? Tetapi mengapa ungkapan itu ditujukan kepada saya, seorang yang masih muda dan kuat?