Itulah salah satu litani anak-anak SD kelas III,
seusia 8 - 9 tahun yang pernah kudampingi. Memang harus kuakui bahwa
anak-anak seusia itu pada umumnya sangat gemar untuk bermain. Satu hal
yang tak pernah terlewatkan bahwa aku selalu menghadiahkan kepada mereka
pada setiap kesempatan bertemu dengan sebuah lagu atau permainan yang
sungguh baru bagi mereka, sehingga mereka merasa bersemangat untuk
belajar bersama. Salah satu yang juga disukai oleh mereka adalah tanya
jawab. Barang kali inilah salah satu keunggulan mereka dibanding dengan
anak-anak yang lain di luar sekolah ini khususnya. Namun sebagai guru
yang juga belajar bijaksana, maka aku juga mencoba untuk memahami sejauh
mana mereka akan bertahan dalam keseriusan soal bertanya jawab. Maka
dengan agak kreatif, aku mgajak mereka untuk bermain bersama.
Ketika bahan pelajaran agama Katolik telah selesai, maka mereka sangat antusias untuk minta diadakan tanya jawab. Saat itu mereka kuajak untuk bermain dengan permainan pembentukan kelompok.
Pertama-tama kami tentukan peraturan permainannya yakni :anak laki-laki semua dihargai 100, kecuali anak laki-laki yang memakai jam tangan mereka dihargai 150 dan anak laki-laki yang berkacamata dihargai 125. Sedangkan anak perempuan semua dihargai 125, kecuali yang memakai tali rambut atau bandu mereka dihargai 175 dan anak perempuan yang memakai jam tangan dihargai 150.
Setelah semuanya memahami peraturan permainan itu, maka kami memulai untuk bermain. Ketika kusebut sebuah harga, misalnya 375 maka masing-masing harus berusaha untuk membuat sebuah kelompok seharga yang kusebutkan itu. Bila ada peserta yang tidak memperoleh atau tidak berhasil membentuk kelompok maka ia harus keluar dari arena permainan. Pertama kali kusebutkan sebuah harga, mereka tampaknya dengan cepat mampu membentuk sebuah kelompok. Dalam hati aku berkata, wah alangkah jeli dan cermatnya mereka. Kedua kalinya kusebutkan, merekapun mampu untu membentuk sebuah kelompok, demikianpun selanjutnya dengan semakin cepat dan cepat. Suasana ruangan kelas sangat iuh dan gaduh. Waaaah jangan-jangan nanti mengganggu kelas sebelah. Eeee belum ada lima menit hatiku bergejolak, tiba-tiba datanglah seorang ibu guru dari kelas sebelah untuk melihat kelas kami. Ibu itu menggelengkan kepala. Aku yakin bahwa ia sangat jengkel.
Maka untuk menghindari agar tidak terdengar sangat ribut, aku menutup pintu kelas itu. Nah bila seperti ini pasti akan sedikit teredam suara anak-anak yang dengan leluasa tertawa dan berteriak, berinteraksi untuk mencari dan membentuk sebuah kelompok bila di sebut sebuah harga olehku.
Karena aku tahu bahwa mereka akan merasa kecapaian, maka aku mengajak mereka untuk mengakhiri permainan itu dan mempersilahkan untuk minum-minum dan bila yang ingin kebelakang biarlah ke belakang. Tiba-tiba ketika sekelompok anak yang ingin ke belakang, pintu kelas itu tak dapat dibukanya.
Ter... tolong batuin bukakan pintunya.
Akupun dengan segera menuju ke pintu untuk mecoba membukakan pintu itu.Waah sulit sekali.
Apakah tadi ada yang menguncinya?
Tak seorang anakpun yang mengatakan mengunci pintu itu. Itu berarti pintu ini terkunci dengan sendirinya. Tahu bahwa usahaku tak berhasil untuk membuka pintu itu, maka ada seorang anak yang berteriak keras
Ter.. kita nggak bisa pulang nanti.
Ya Ter.
Ya Ter..
Semakin banyak anak ynag juga ikut berteriak. Bahkan ada yang sungguh sampai menangis dan berteriak Frater gimana kalau kita tak bisa keluar?
Tenanglah, kita pasti akan bisa keluar.
Sebagian besar dari mereka justru semakin panik dan menjerit. Aku pun sempat merasa panik waah anak-anak tampaknya mersa sungguh ketakutan. Maka aku mencoba teriak ke luar kelas minta tolong.
Tolong...tolong!!Tiba-tiba datanglah guru sebelah yang tadi sempat jenggkel melihat kami bermain serta dua orang bapak guru lainya yang mendengar teriakanku minta tolong. Usaha keras bapak-bapak dan ibu guru itu pun tak membuahkan hasil.
Waaah ini tampaknya sulit untuk dibuka dan barangkali kita harus memaksanya untuk membuka.Mendengar seruan para guru yang berusaha untuk membukakan pintu itu, anak-anak semakin bertambah panik.
Mamaa...Mamaaa....Mamaaaaaa..Aku nggak bisa keluaaaar, tolong maaaaaaaa!!!
Situasi semakin gaduh dan panik. Lalu tiba-tiba datang dua orang satpam sekolahan itu dengan membawa linggis dan palu. Kedua satpam itu datang dengan berlari.Tolong paak! Tolooooong!
Tolong paaak!
Itulah teriakan anak-anak yang tampaknya sungguh semakin ketakutan bak para korban yakni saudara saudara kita yang ada di Bali saat itu, yang terperangkap dalam sebuah ruangan ketika gempa bumi yang berskala 6,1 mengguncang desa dan terlebih tempat tinggal mereka. Ketika pintu berhasil dibuka oleh bapak-bapak satpam yang baik hati itu, bersamaan itu pula kurang lebih 9 sembilan anak yang termasuk njerit-njerit tadi terhempas bergulingan saling menimpa, sebab ketika para satpam tadi berusaha untuk membukanya, mereka tampaknya berusaha untuk mendorong pintu itu. Namun tak satu dari kesembilan anak itu yang merasa kesakitan, namun justru tertawa puas.Mengapa mereka tertawa puas?
Mereka lebih bahagia karena apa yang membelenggunya kini terlepaskan, rasa sakitpun sampai-sampai tak tersasakan.
Ketika bahan pelajaran agama Katolik telah selesai, maka mereka sangat antusias untuk minta diadakan tanya jawab. Saat itu mereka kuajak untuk bermain dengan permainan pembentukan kelompok.
Pertama-tama kami tentukan peraturan permainannya yakni :anak laki-laki semua dihargai 100, kecuali anak laki-laki yang memakai jam tangan mereka dihargai 150 dan anak laki-laki yang berkacamata dihargai 125. Sedangkan anak perempuan semua dihargai 125, kecuali yang memakai tali rambut atau bandu mereka dihargai 175 dan anak perempuan yang memakai jam tangan dihargai 150.
Setelah semuanya memahami peraturan permainan itu, maka kami memulai untuk bermain. Ketika kusebut sebuah harga, misalnya 375 maka masing-masing harus berusaha untuk membuat sebuah kelompok seharga yang kusebutkan itu. Bila ada peserta yang tidak memperoleh atau tidak berhasil membentuk kelompok maka ia harus keluar dari arena permainan. Pertama kali kusebutkan sebuah harga, mereka tampaknya dengan cepat mampu membentuk sebuah kelompok. Dalam hati aku berkata, wah alangkah jeli dan cermatnya mereka. Kedua kalinya kusebutkan, merekapun mampu untu membentuk sebuah kelompok, demikianpun selanjutnya dengan semakin cepat dan cepat. Suasana ruangan kelas sangat iuh dan gaduh. Waaaah jangan-jangan nanti mengganggu kelas sebelah. Eeee belum ada lima menit hatiku bergejolak, tiba-tiba datanglah seorang ibu guru dari kelas sebelah untuk melihat kelas kami. Ibu itu menggelengkan kepala. Aku yakin bahwa ia sangat jengkel.
Maka untuk menghindari agar tidak terdengar sangat ribut, aku menutup pintu kelas itu. Nah bila seperti ini pasti akan sedikit teredam suara anak-anak yang dengan leluasa tertawa dan berteriak, berinteraksi untuk mencari dan membentuk sebuah kelompok bila di sebut sebuah harga olehku.
Karena aku tahu bahwa mereka akan merasa kecapaian, maka aku mengajak mereka untuk mengakhiri permainan itu dan mempersilahkan untuk minum-minum dan bila yang ingin kebelakang biarlah ke belakang. Tiba-tiba ketika sekelompok anak yang ingin ke belakang, pintu kelas itu tak dapat dibukanya.
Ter... tolong batuin bukakan pintunya.
Akupun dengan segera menuju ke pintu untuk mecoba membukakan pintu itu.Waah sulit sekali.
Apakah tadi ada yang menguncinya?
Tak seorang anakpun yang mengatakan mengunci pintu itu. Itu berarti pintu ini terkunci dengan sendirinya. Tahu bahwa usahaku tak berhasil untuk membuka pintu itu, maka ada seorang anak yang berteriak keras
Ter.. kita nggak bisa pulang nanti.
Ya Ter.
Ya Ter..
Semakin banyak anak ynag juga ikut berteriak. Bahkan ada yang sungguh sampai menangis dan berteriak Frater gimana kalau kita tak bisa keluar?
Tenanglah, kita pasti akan bisa keluar.
Sebagian besar dari mereka justru semakin panik dan menjerit. Aku pun sempat merasa panik waah anak-anak tampaknya mersa sungguh ketakutan. Maka aku mencoba teriak ke luar kelas minta tolong.
Tolong...tolong!!Tiba-tiba datanglah guru sebelah yang tadi sempat jenggkel melihat kami bermain serta dua orang bapak guru lainya yang mendengar teriakanku minta tolong. Usaha keras bapak-bapak dan ibu guru itu pun tak membuahkan hasil.
Waaah ini tampaknya sulit untuk dibuka dan barangkali kita harus memaksanya untuk membuka.Mendengar seruan para guru yang berusaha untuk membukakan pintu itu, anak-anak semakin bertambah panik.
Mamaa...Mamaaa....Mamaaaaaa..Aku nggak bisa keluaaaar, tolong maaaaaaaa!!!
Situasi semakin gaduh dan panik. Lalu tiba-tiba datang dua orang satpam sekolahan itu dengan membawa linggis dan palu. Kedua satpam itu datang dengan berlari.Tolong paak! Tolooooong!
Tolong paaak!
Itulah teriakan anak-anak yang tampaknya sungguh semakin ketakutan bak para korban yakni saudara saudara kita yang ada di Bali saat itu, yang terperangkap dalam sebuah ruangan ketika gempa bumi yang berskala 6,1 mengguncang desa dan terlebih tempat tinggal mereka. Ketika pintu berhasil dibuka oleh bapak-bapak satpam yang baik hati itu, bersamaan itu pula kurang lebih 9 sembilan anak yang termasuk njerit-njerit tadi terhempas bergulingan saling menimpa, sebab ketika para satpam tadi berusaha untuk membukanya, mereka tampaknya berusaha untuk mendorong pintu itu. Namun tak satu dari kesembilan anak itu yang merasa kesakitan, namun justru tertawa puas.Mengapa mereka tertawa puas?
Mereka lebih bahagia karena apa yang membelenggunya kini terlepaskan, rasa sakitpun sampai-sampai tak tersasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar